Pembangunan Non-Blok Indonesia

Oke! Unggahan inilah alasan aku kembali ke Blogger. Tugas resume teori Developmental State.

Karena kemarin siang aku baru kelas MPS, aku akan bahas pertanyaan besar dalam resume ini dulu: kalau Indonesia bisa sampai mengaplikasikan Developmental State, kira-kira bakal seperti apa, ya?

Mari kita mulai dari latar belakang. Munculnya Developmental State sendiri didasari oleh karena Jepang, negara penciptanya, menolak mengikuti gerakan pembangunan Amerika ataupun Rusia setelah PD II. Dapat dimengerti, karena Jepang dikalahkan oleh kedua negara tersebut pada PD II dan setelahnya berada di ambang kemiskinan. Kecerdikan Jepang menggunakan pembangunan alternatif ini sehingga mampu menciptakan ekonomi nasional yang kuat kemudian diteorisasikan oleh Chalmers Johnson (1999).

Penguatan ekonomi nasional ini bisa dicapai juga bukan hanya karena Jepang cerdik dan tenang menghadapi tekanan Amerika untuk mengikuti gaya ekonomi nasionalnya. Di Jepang, pihak privat dan birokrasi sadar bahwa mereka sama-sama memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kondisi nasional. Kedua pemegang kapital ini bergerak sesuai peraturan-peraturan yang telah dibentuk oleh pemerintah, demi melepaskan diri dari belenggu kekalahan PD II. Ini artinya, Developmental State bukan hanya membutuhkan sebuah peraturan tertentu yang mengatur ekonomi nasional, namun juga kultur warga negara yang menjadi bagian dari seluruh lapisan masyarakat.

Sekarang, apabila Indonesia mencoba mengaplikasikan Developmental State, mungkinkah pembangunan Indonesia sebaik Jepang?

Dari pengamatanku, tidak, pembangunan Indonesia tidak akan sebaik Jepang.

Permasalahan pertama dari aplikasi Developmental State di Indonesia adalah kapan Indonesia mengaplikasikannya. Kondisi pasca-PD II yang sangat buruk mendorong Jepang untuk melakukan langkah drastis untuk memperbaiki kesejahteraan warganya. Negara-negara lain yang telah menggunakan teori Developmental State pada pembangunan nasionalnya juga baru saja selesai berperang (Korea Selatan dan Hong Kong). Perubahan gaya dan teori pembangunan yang tiba-tiba tidak akan berdampak baik pada kondisi ekonomi internasional, apalagi nasional.

Kedua, kultur yang berada di Jepang tidak dimiliki oleh Indonesia sama sekali. Birokrasi di Indonesia lebih mempedulikan kesejahteraan diri mereka sendiri, sehingga pembuatan peraturan dan perjanjian tentu saja akan lebih banyak menguntungkan birokrat dari pada warga Indonesia secara menyeluruh. Kecuali KPK dapat menghentikan dan mencegah menjamurnya KKN, Developmental State hanya akan merusak ekonomi nasional Indonesia. Selain birokrasi, warga Indonesia juga tidak mampu membentuk industri nasional yang sepenuhnya membangun ekonomi nasional.

Terakhir, dan terpenting, adalah kemampuan Indonesia menciptakan perlindungan bagi ekonomi nasional ketika Globalisasi terjadi dengan sangat keras sambil menggunakan kebijakan-kebijakan yang sifatnya sangat tergantung pada negara. Akan banyak pertentangan yang muncul dari pihak investor dan warga negara apabila mereka kesulitan dalam menanamkan perusahaan mereka di Indonesia.

Pengamatan ini sesuai dengan teori Kasahara. Dalam tulisannya, kemajuan ekonomi Jepang sangat berkaitan dengan manajemen negara yang baik dalam perekonomian makro dan stabilitas ekonomi, menghasilkan birokrasi kompeten, membuat hubungan bisnis negara yang harmonis, dan membuat kebijakan industri yang luas dan erat kaitannya dengan negara. Karena itu, Indonesia belumlah siap merealisasikan pembangunan non-blok.

Alif Ilma Z. Cheers, mate!

Comments

Popular posts from this blog

Filler 2: Depression/Bipolar Disorder

Diplomasi Era Hayam Wuruk